tirto.id - “Para pakar mengatakan di Indonesia sedang terjadi deindustrialisasi. Bukan industrialisasi, (tapi) deindustrialisasi. Ini akan kami ubah, kami akan meneruskan industrialisasi di Indonesia,” ujar Prabowo Subianto, calon presiden nomor urut 02, pada sesi Pidato Kebangsaan “Indonesia Menang” pada Senin (14/1).
Prabowo menyampaikan pidato secara runut dan sistematis. Apalagi ia terlihat tak pernah menundukkan kepala untuk mengintip teks pada mimbar. Namun, ini dianggap biasa oleh Ace Hasan Syadzily, Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Katanya, “tidak ada yang baru dari pidato visi-misi Prabowo malam ini. Dua jam (Prabowo hanya) membaca teleprompter.”
Teleprompter yang dimaksud Ace, ialah alat baca teks visual elektronik khusus yang dibuat untuk seseorang yang berbicara di depan umum atau untuk kepentingan penyiaran televisi. Teleprompter merupakan tingkatan lebih tinggi dibandingkan kertas catatan.
Menggunakan teleprompter untuk membantu seseorang berbicara di depan khalayak umum adalah hal biasa. Dan ejekan pada penggunanya pun juga biasa. Pada kampanye pemilihan calon presiden Amerika Serikat 2014, Barack Obama juga menggunakan teleprompter saat berpidato di hadapan pendukungnya. Di sisi lain, kubu Republik, tulis Smithsonian, “senang mengejek ketergantungan Presiden Obama pada sebuah mesin untuk membantunya menyampaikan pidato.”
Dalam kasus tertentu, penggunaan teleprompter adalah sesuatu yang vital. Khususnya, agar si pengguna tidak malu karena salah membaca kata dan kalimat. Pada 2007, sebagaimana dilansir Reuters, dalam Sidang Umum PBB, Presiden Bush menggunakan teleprompter untuk memudahkannya mengucap kata-kata yang sukar diucap seperti Nicolas Sarkozy yang mengandung ejaan “sar-KO-zee” pada teleprompter. Juga untuk menyebut Kyrgyzstan “KEYR-geez-stan,” Mauritania “moor-EH-tain-ee-a,” dan ibu kota Zimbabwe Harare “hah-RAR-ray.”
Merujuk Smithsonian, perangkat teleprompter muncul sejak 1948, saat aktor-aktor teater maupun film bertransformasi ke dunia pertelevisian. Christopher Sterling, sejarawan dari George Washington University, menyebut “transisi ke televisi sulit, ini terjadi karena ada kebutuhan yang lebih besar untuk menghafal dialog.”
Sebelum teleprompter diciptakan, pengisi acara di televisi umumnya menggunakan kertas catatan untuk memudahkan mereka mengungkapkan apa yang hendak disampaikan kepada para pemirsa. Sayangnya, penggunaan kertas catatan kadang menghasilkan kekacauan. Misalnya pengisi acara yang terlalu fokus ke catatan, adanya jeda yang terlalu lama saat berpindah dari satu catatan ke lainnya, hingga terdapat kemungkinan catatan yang hilang.
Fred Barton, aktor veteran Broadway yang hijrah ke televisi, memiliki ide untuk mengatasi masalah yang menghadapi pengisi acara televisi. Alih-alih menggenggam kertas catatan di tangan si pengisi acara, Barton mengusulkan agar kertas catatan diletakkan di depan kamera, diintegrasikan antar satu catatan ke lainnya, dan digerakkan dengan penggerak motorik. Irvin Kahn, Wakil Presiden 20th Century Fox Studio, menyambut ide itu.
Kahn, melalui anak buahnya bernama Hubert Schlafly, akhirnya merealisasikan ide Barton tersebut. “The First Hundred Years”, drama televisi yang tayang pada 1950, merupakan produksi televisi pertama yang memanfaatkan teleprompter untuk memudahkan kerja aktor.
Sterling, masih mengutip Smithsonian, mengemukakan teleprompter sukses membuat suatu presentasi menjadi “lembut” untuk ditonton. Pengisi acara tak lagi menghabiskan banyak waktu untuk membaca catatan yang digenggamnya, namun melakukan lebih banyak kontak mata dengan pemirsa.
Perlahan, teleprompter pun berevolusi. Dari kertas catatan yang digerakkan secara mekanik hingga layar elektronik yang dipantulkan ke lensa kamera.
Tokoh Dunia dan Teleprompter
Pada 1952, mantan Presiden Amerika Herbert Hoover, didaulat sebagai salah satu juru kampanye Dwight D. Eisenhower. Sayangnya, karena usia telah menua, Hoover mengalami kesulitan untuk menghapal pidato yang hendak diungkapkannya dalam berkampanye untuk Eisenhower. Untuk mengatasi masalah ini, Irvin Kahn menyarankan Hoover menggunakan teleprompter, perangkat yang sukses mengatasi masalah para pengisi acara di televisi.
Hoover pun setuju. Ia menggunakan teleprompter untuk berpidato bagi Eisenhower.
Di luar penggunaan teleprompter oleh Hoover karena faktor usia, secara tak terduga, alat tersebut berperan penting dalam penciptaan opini publik yang bisa membantu kerja seorang pemimpin.
Dalam paper berjudul “The Teleprompter Presidency: Comparing Obama’s Campaign and Governing Rhetoric,” Jeremiah Olson memaparkan bahwa sangat mungkin terjadi perbedaan antara apa yang dijanjikan seorang calon presiden kala berkampanye dengan saat ia menjabat sebagai presiden.
Alasan utamanya, dalam lingkup jabatan, ada banyak tangan-tangan yang bekerja dalam melahirkan suatu keputusan/ketetapan. Misalnya, seorang presiden akan sukar mengeluarkan peraturan sesuai janjinya tatkala kursi-kursi parlemen dikuasai partai oposisi.
Olson menyebut, setidaknya, ada tiga kekuatan yang bisa digunakan demi memaksakan apa yang diinginkan presiden terealisasi. Ketiga kekuatan itu ialah kekuatan konstitusional, kekuatan kepala partai, dan kekuatan mempengaruhi opini publik.
Kekuatan pertama dan kedua cenderung sukar didapat seorang presiden. Hanya kekuatan ketiga-lah yang paling mungkin dimaksimalkan bagi seorang pemimpin memaksa kehendaknya.
Dalam bahasa lain, Olon menyebut bahwa kekuatan ketiga merupakan “retorika”, berpidato mengungkap segala keinginan dan kehendak langsung pada rakyat, dengan berbagai janji manis dan ancamannya. Kala rakyat terpengaruh, rakyat-lah yang kemudian akan langsung berhadapan dengan lawan-lawan politik presiden, memaksa keinginan presiden terwujud.
Tentu saja, buaian manis dan ancaman tak akan terlalu berpengaruh bagi rakyat bila orang yang berpidato hanya sibuk membaca catatan demi catatan yang digenggamnya. Tidak ada interaksi yang baik muncul jika ini terjadi.
Teleprompter mengatasi masalah ini. Teleprompter membuat orang yang berpidato menghabiskan banyak waktunya untuk menatap mata para pendengarnya alih-alih membaca catatan, yang pada akhirnya membuat seorang sukses menguasai panggung.
Editor: Suhendra